Selasa, 26 Januari 2016

Biografi 4 Imam Madzhab - Imam Hanafi, Perkembangan, Pola Pemikiran dan Metode Istinbath Imam Hanafi

Biografi Imam Hanafi, Perkembangan, Pola Pemikiran dan Metode Istinbath Imam Hanafi - Mazhab Abu Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat serangkai dalam mazhab fiqh, Imam Abu Hanifahmemang lebih dikenal sebagai faqih (ahli hukum) dari pada muhaddits (ahli hadits)[1]. Keahliannya dalam bidang fiqh telah diakui oleh banyak pakar, bahkan para imam sendiri seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i. Namun, bukan berarti ia kurang ahli dibidang hadits karena maha gurunya seperti Atha’, Nifi’, Ibnu Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar dan yang lainnya telah pula mengajarkan hadits kepadanya selain fiqh.[2]

Ada beberapa macam pendapat dari orang-orang Islam tentang kedudukan mazhab ini. Sebagian dari mereka berpendapat dan menganggap bahwa mazhab Abu Hanifah ialah satu mazhab yang baru serta lain dari mazhab-mazhab lain.

Biografi Imam Hanafi

Mazhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama pendirinya, yaitu Abu Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufy al-Taimy, yang masih ada hubungan keluarga dengan ‘Ali bin Abi Thalib, bahkan Ali pernah berdoa untuk Tsabit supaya Allah memberkahi keturunannya, sehingga tidak heran jika dikemudian hari dari keturunannya muncul Ulama’ besar seperti Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H/ 699M dan wafat di Baghdad tahun 150 H / 767 M. Beliau ini berasal dari keturunan Persia, yang menjalani hidup didua masa kekhalifahan yang sosial politiknya berbeda, yaitu masa akhir kekhalifahan Bani Umayyah dan awal masa kekhalifahan abbasiyyah.[3]

Beliau dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah” , sebab dalam kebiasaan bangsa Arab, nama putra (yaitu Hanifah) dijadikan sebagai sebuah nama panggilan bagi ayahnya dengan menggunakan kata “Bapak (Abu/Ayah)”, sehingga lebih dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah”.

Dalam kaitannya dengan sebutan tersebut, Yusuf Musa berpendapat bahwa sebutan tersebut lebih disebabkan adanya kehidupan kesehariannya yang selalu berteman dengan tinta (dawat) guna menulis dan mencatat semua ilmu pengetahuan yang didapat dari teman-temannya dan kata “Hanifah” dalam bahasa berarti “Tinta”. Karena inilah, beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dalam segala hal, baik belajarnya maupun peribadatannya, sebab kata “hanif” dalam bahasa Arab juga berarti “condong” kepada hal-hal yang benar, sehingga pada masa kedua khalifah, beliau tetap saja tidak menjabat sebagai qadli, karena tidak senang pada kemewahan setelah jabatan itu dipegangnya.[4]

Dalam studinya, pada awalnya Abu Hanifah senang sekali belajar bidang Qira’ah dan tajwid kepada Idris ‘Asham, al-Hadits, Nahwu Sharaf, sastra, sya’ir dan ilmu yang sedang berkembang pada saat itu, diantaranya adalah ilmu-kalam (theologi). Karena ketajamannya dalam memecahkan semua persoalan, beliau sanggup membuat Argumentasi yang dapat menyerang kelompok Khawarij dan doktrinnya yang sangat ekstrim, sehingga beliau menjadi salah satu tokoh theologi Islam.

Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh di Irak pada Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud ( (w. 63 H / 682 M) dan beliau berguru selama 18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy al-Tabi’iy (al-Qadli Syuriah), kemudian kepemimpinan Madrasah diserahkan kepada Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary dan disinilah Imam Abu Hanifah banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Atha’ bin Rabah dan Nafi’ Maula bin Umar. Dari Guru Hammad inilah Imaam Abu Hanifah banyak belajar Fiqh dan al-Hadits.[5]

Untuk mencari tambahan dari apa yang telah didapat di Kuffah, Abu Hanifah beberapa beberapa kali pergi ke Hijaz dan Makkah meskipun tidak begitu lama untuk mendalami Fiqh dan al-Hadits dan tempat ini pulalah beliau dapatbertemudan berdiskusi dalam berbagai bidang ilmu Fiqh dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra, sehingga tidak mengherankan jika sepuluh tahun sepeninggal guru besarnya (Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary tahun 130 H), Majlis Madrasah Kuffah bersepakat untuk mengangkat beliau Abu Hanifah sebagai Kepala Madrasah dan selama itu beliau mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa-fatwanya dalam bidang fiqh. Kemudian fatwa-fatwa itulah yang menjadi dasar pemikiraan Hanafi sampai sekarang. Keberhasilan beliau ini pada hakikatnya terdorong oleh nasihat para guru setianya, diantaranya adalah Imam Amir ibn Syahrilal-Sya’biy dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’Ary. 

Di samping itu semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai sosok ‘ulama’ yang sangat dalam keilmuan keagamaannya, ahli zuhud, sangat tawadlu’ dan teguh dalam memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam, bahkan beliau tidak tertarik sama sekali pada jabatan-jabatan pemerintahan yang pernah ditawarkan kepadanya.

Ilmu yang dimiliki oleh Abu Hanifah demikian luas terutama temuan-temuannya di bidang hukum dan memecahkan masalah-masalahnya sejumlah 60.000 masalah, hingga ia digelar dengan Imam al-A’zdam dan kekuasaan ilmunya itu diakui oleh Imam Syafi’i, beliau berkata: “manusia dalam bidang hukum adalah orang-orang yang berpegang kepada Abu Hanifah”.[6] Tampaknya ilmu Abu Hanifah bukan hanya bidang hukum tetapi juga meliputi bidang-bidang lainnya termasuk tasawuf.[7]

Kehidupan Abu Hanifah di masa Dinasti Umayyah selama 52 tahun, dan di masa Dinasti Abasiyyah selama 18 tahun. Dengan demikian beliau mengetahui hiruk pikuk pergantian kekuasaan Islam antara kedua Dinasti tersebut. Ketika Umar bin abdul aziz berkuasa (99-101 H), Abu Hanifah sudah menjelang dewasa.[8]

Untuk menjamin ekonominya, Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang sutera. Dalam dagang ia dikenal jujur dan lugas. Kemakmuran hidupnya diperoleh dari dagang ini.[9] Bakat berdagangnya didapatkan dari ayahnya yang dulu juga seorang pedagang kain sutra asli Persia, yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khulafaur rasyidin.[10]

Abu Hanifah dibesarkan di Kufah. Setidaknya ada empat orang sahabat Nabi yang masih hidup ketika Abu Hanifah lahir. Anas bin malik di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi di Madinah, Abu al-Thufail, Amir bin Wailah di Mekah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau sempat berjumpa dengan Anas bin Malik di Mekah. Kalau ini benar maka Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Tetapi karena sebagian besar ilmunya diperoleh dari generasi tabiit-tabi’in, maka tidak tepat dia disebut tabi’in. Seperti halnya ulama lain, Abu Hanifah menguasai ilmu kalam (dikenal dengan fiqh al-Kabir) dan ilmu fiqh. Dari segi lokasi di mana ia dibesarkan, dapat diperkirakan bahwa pemikiran keagamaan yang dikembangkan oleh Abu Hanifah adalah pemikiran Rasional.[11]

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767 M pada usia 70 tahun dan dimakamkan di pakuburan Khizra, kemudian pada tahun 450 H /1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama “Al-Jami’ Abu Hanifah”.

Dari keberhasilan Abu Hanifah dalam mendidik ratusan murid yang memeliki wawasan luas dalam bidang fiqh, maka wajar jika sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tersebar luas melalui para muridnya yaang memang cukup banyak. Diantaranya adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarrak, Waki’ bin Jarah bin Hasan al-Syaibaniy dan lain-lain, sehingga tidak heran jika murid-muridnya menjabat sebagai Hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyyah, Saljuk, Utsmani dan Mongol.[12]


Pola Pemikiran dan Metode Istinbath Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah termasuk ulama’ yang tangguh dalam memegangi prinsip pemikirannya. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di pemerintahan, tetap saja tidak mau menerimanya, baik pada masa kekholifahan Bani Umayyah di Kuffah yang dijalaninya selama 52 tahun maupun kekholifahan Bani Abasiyyah di bagdad selama 18 tahun, bahkan yang menawarinya adalah penguasa kerajaan sendiri, yaitu Yazid bin Umar dari kerajaan Bani Umayyah dan Abu ja’far al-Manshur dari kerajaan Bani Abbasiyyah sebagai seorang Hakim. Akibatnya beliau dipenjarakan sampai meninggal dunia.

Dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52 tahun ( yang mana pemerintahannya dipegang oleh Bani Umayyah yang berpusat di Kufah) pernah menyaksikan tragedi-tragedi besar, sehingga dalam satu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya dalam menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama’ besar dengan julukan “Al-Imam al-A’dlam”. Akan tetapi disisi lain beliau merasakan kota Kuffah sebagai kota yang penuh teror yang di dalamnya diwarnai dengan pergolakan politik.[13]

Sedang untuk mengetahui methode Istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat dari pengakuan yang dibuatnya sendiri, yaitu:

  1. “Sesungguhnya saya mengambil kitab al-Qur’an dalam menetapkan Hukum, jika tidak ditemukan, maka saya mengambilnya dari al-Hadits yang shahih dan yang tersiar secara mashur di kalangan orang-orang terpercaya. Jika tidak ditemukan dari keduanya, maka saya mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki, lalu saya tidak keluar dari pandangan mereka. Jika masalah tersebut sampai pada Ibrahim al-Sya’by, Hasan ibn Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
  2. Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar hukum dalam al-Qur’an, kalau tidak ada saya mencarinya dari dalam al-Sunnah Nabi, kalau tidak ada, saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya memilih mana yang saya anggap paling kuat, tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka saya pun melakukan ijtihad.”
  3. Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan:” inilah pendapatku dab jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.”
  4. Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan tidak diragukan lagi?.” Lalu beliau menjawab:” Demi Allah, boleh jadi itu adalah suatu fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya.”[14]

Berdasarkan kenyataan dari pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum syar’i (beristidlal), tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’i dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang keshahihannya yang masih diragukan, tetapi mempergunakan al-ra’yu, sebab beliau sangat selektif dalam menerima al-Sunnah, sehingga beliau tetap memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta ‘urf mereka.

Dengan demikian, dalam beristinbathnya, imam Abu Hanafi tetap mempergunakan al-Qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa dengan menggunakan al-Qiyas, maka berpegang pada istihsan selama dapat dilakukan. Jika tidak bisa baru beliau berpegang pada adat dan ‘Urf. 

Dalam mengistinbath hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf. Menurut Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad Abu Hanifah. Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan, India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.[15]


Karya-Karya dan Pengikut Imam Hanafi

Dalam menelusuri sejauh mana penyebaran dana perkembangan suatu mazhab, diperlukanlah adanya pengungkapan terhadap sejauh mana karya-karya yang telah dihasilkannya itu beredar dan dikembangkan oleh generasi penerusnya. Maka dari itu, karya-karya yang telah dihasilkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai dasar pokok pengembangan mazhabnya dapat dilihat dari tiga karya besarnya, sekalipun masih dalam bentuk sebuah majalah ringkas, tetapi sangat terkenal, yaitu sebagai berikut:[16]
  1. Kitab Fikh al-Akbar
  2. Kitab al-‘Alim wa al-Mu’allim
  3. Kitab al-Musnad fi Fiqh al-Akbar
Dalam menanggapi masalah ini, Ayeed Amir Ali menyatakan bahwa karya-karya Abu Hanifah, baik yang berkaitan dengan fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihadnya saat itu ( pada masa beliau masih hidup) belum dibukukan, tetapi baru setelah wafat, muri-murid dan pengikutnya membukukan, sehingga menjadi mazhab ahl al-Ra’yi ini menjadi hidup dan berkembang dan dalam perkembangan selanjutnya berdiri sebuah Madrasah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Madrasah Hanafi atau Madrasah Ahl al-Ra’yi, selain namanya yang terkenal menurut versi sejarah hukum Islam sebagai “Madrasah Kufah”.

Murid-Murid Abu Hanifah

Sistem Penyebaran dari suatu pemikiran seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya para murid dan pendukungnya, diantaranya adalah sebagai berikut:[17]

Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Auza’iy (113-182 H)

Dan beliau ini menjadi seorang “Qadlibal-Qudhat (ketua Hakim tinggi yang diberi kekuasaan untuk mengangkat para Hakim daerah) pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan menyusun kitab dengan judul: “al-Kharaj” yang membahas tentang “Hukum Pajak Tanah”.

Muhammad bin Hasan bin Farqad al-Syaibany (132-189 H)

Dan beliau inilah, salah satu murid Abu Hanifah yang banyak sekali menyusun dan mengembangkan hasil karya Abu hanifah, diantaranya yang terkenal adalah Al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu:[18]

  1. Kitab al-Mabsuth
  2. Kitab al-Ziyad
  3. Kitab al-Jami’ al-Shaghir
  4. Kitab al-Jami’ al-Kabir
  5. Kitab al-Siyarul Kabir
  6. Kitab al-Siyarul Shaghir[19]

Zufar bin Huzaili (110-189 H)

Beliau merupakan salah satu ulama Abu Hanifah yang mengikuti contoh gurunya, dan menolak menerima tawaran sebagai Qadli meskipun banyak sekali tawaran menarik disodorkan kepadanya. Zufar lebih memilih untuk mengajar, yang terus dilakukan hingga dia wafat pada usia 42 tahun di Basrah.[20]

Dengan Demikian, maka melalui karya-karya itulah Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh sangat luas dalam dunia Islam, khususnya mereka yang berhaluan sunny, sehingga pada masa pemerintahan dipegang oleh khalifah Bani Abbasiyyah, mazhab Abu Hanifah menjadi sebuah aliran mazhab yang paling banyak diikuti dan dianut oleh ummat Islam, bahkan pada kerajaan “Utsmani” menjadi salah satu aliran ,azhab resmi negara dan sampai sekarang tetap menjadi kelompok mayoritas di samping aliran mazhab syafi’i.[21]

Para Pengikut Mazhab Hanafi

Para pengikut mazhab Hanafi saat ini sebagian besar tersebar di daerah India, Afghanistan, Iraq, Syria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname dan juga sebagian di antaranya berada di daerah Mesir. Ketika para penguasa Kerajaan Ottonom menyusun Undang-Undang hukum Islam berdasarkan mazhab Hanafi pada abad ke 19 dan menjadikannya sebagai hukum resmi negara, siapapun ulama’ yang berkeinginan menjadi seorang hakim diwajibkan untuk mempelajarinya. Dengan demikian, mazhab ini tersebar luas di sepanjang wilayah pemerintahan kerajaan Ottoman di akhir abad ke -19.[22]

Perkembangan Mazhab Imam Hanafi

Mazhab Hanafi tercermin di Irak, negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab berkembang ke Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah berada), dan Turki Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan para qadli, bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas penduduk bumi putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.[23]

Dapat dikatakan bahwa perkembangan Mazhab Hanafi boleh dikatakan menduduki posisi yang paling tinggi dan luas dibandingkan dengan mazhab-mazhab lain. Hal ini disebabkan dengan adanya hal-hal sebagai berikut:
  1. Pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, ia menjadi alirang Mazhab yang secara umum menjadi pegangan masyarakat di Irak yang dapat mengalahkan Mazhab lain lantaran pengaruhnya dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan.
  2. Pada masa kekhalifahan Ustmaniyyah, Mazhab ini menjadi mazhab resmi pemerintahan, bahkan berubah menjadi satu-satunya sumber dari panitia negara dalam menyusun kitab “Majallah al-Akhkam al-‘Adaliyyah (Kompilasi Hukum Islam).[24]

Dari kedua kekhalifahan itulah, yang membuat Mazhab aliran Hanifah berkembang pesat di berbagai negara, khususnya negara-negara yang pada masa dahulu tunduk kepada keduanya, seperti:

  1. Mesir, Syria dan Lebanon
  2. Tunisia yang menjadi mazhab keamiran.
  3. Turki dan dibeberapa negara yang dahulunya tunduk kepada kekuasaan Turki
  4. Albania yang menjadi aliran mazhab yang umum dipakai oleh masyarakat.
  5. Balkan dan Tanzaniyyah yang menjadi panutan dalam bidang peribadatan.
  6. Pakistan, Afganistan, Turkinistan dan penduduk muslim yang berdomisili di India dan Tiongkok, begitu juga para penganutnya di negara-negara lain.

Dengan demikian, maka kenyataan seperti itu dapat disimpulkan bahwa kesemua penganut aliran Mazhab Hanafi itu lebih kurang ada sepertiga dari jumlah seluruh ummat Islam sedunia.[25]

Penutup
Mazhab Abu Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat serangkai dalam mazhab fiqh, beliau memang lebih dikenal sebagai faqih (ahli hukum) dari pada muhaddits (ahli hadits). Keahliannya dalam bidang fiqh telah diakui oleh banyak pakar, bahkan para imam sendiri seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i. Namun, bukan berarti ia kurang ahli dibidang hadits karena maha gurunya seperti Atha’, Nifi’, Ibnu Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar dan yang lainnya telah pula mengajarkan hadits kepadanya selain fiqh.

Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh di Irak pada Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud ( (w. 63 H / 682 M) dan beliau berguru selama 18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy al-Tabi’iy (al-Qadli Syuriah), kemudian kepemimpinan Madrasah diserahkan kepada Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary dan disinilah Imam Abu Hanifah banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Atha’ bin Rabah dan Nafi’ Maula bin Umar. Dari Guru Hammad inilah Imaam Abu Hanifah banyak belajar Fiqh dan al-Hadits.

Dalam mengistinbath hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf. Menurut Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad Abu Hanifah. Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan, India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.

Mazhab Hanafi tercermin di Irak, negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab berkembang ke Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah berada), dan Turki Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan para qadli, bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas penduduk bumi putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.


DAFTAR PUSTAKA
Ameenah, Abu, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab Doktrin dan Kontribusi, Penerjemah: M. Fauzi Arifin, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2000

Ma’shum Zein, Muhammad, Arus Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis Istinbath Para Fuqoha’, Jombang: Darul Hikmah, 2008

Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: Impremium, 2012

Sopyan, Yayan, Tarikh Tasry’, Depok: Gramata Publishing, 2010 

Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Teras, 2010

Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta,: Raja Permai Grafindo Persada, 1997






[1] M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010) hlm.188
[2] Ibid, 189
[3] Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis Istinbath Para Fuqoha’, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm.129.
[4] Ibid, Hlm. 129-130
[5] Ibid, Hlm. 131
[6] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hlm. 30
[7] Ibid, Hlm.30
[8] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta,: Raja Permai Grafindo Persada, 1997), Hlm.94-95.
[9] Ibid, Hlm. 95
[10] Abu Ameenah, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab Doktrin dan Kontribusi, Penerjemah: M. Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2000), Hlm. 87
[11] Muh Zuhri, Op.cit, Hlm. 95
[12] Muhammad Ma’shum Zein, Op.Cit, Hlm.132
[13] Ibid, Hlm.133
[14] Ibid, Hlm.134
[15] Yayan Sopyan, Tarikh Tasry’, (Depok: Gramata Publishing, 2010), Hlm. 121.
[16] Muhammad Ma’shum Zein, Op.Cit, Hlm.137
[17] Ibid, Hlm.138
[18] Ibid,Hlm.138-139
[19] Keenam kitab tersebut telah dikumpulkan dalam satu kitab bernama al-Kafi oleh al-Hakim al-Syahid.
[20] Abu Ameenah, Op.Cit, Hlm. 91
[21] Muhammad Ma’shum Zein, Op.Cit, Hlm.139
[22] Abu Ameenah, Op.Cit, Hlm.92-93
[23] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Impremium, 2012), Hlm. 97.
[24] Muhammad Ma’shum Zein, Op.Cit, Hlm. 139
[25] Ibid, Hlm. 140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar