Minggu, 31 Januari 2016

Cara Mudah Membuat Soal Tes atau UJian Online Dengan Google Drive

Cara Mudah Membuat Soal Tes atau UJian Online Dengan Google Drive | Google drive salah satu layanan gratis dari google yang didalamnya ada fitur google form. Fitur ini bisa dijadikan sebagai salah cara membuat soal tes atau ujian online

Membuat soal tes atau ujian online dengan google drive terbilang sederhana dan sangat mudah. Saya yakin anda para pemula saja bisa melakukannya. Namun tentu saja masih banyak kekurangan, google form hanya bisa membuat soal dalam bentuk teks saja, sedangkan jika kita ingin menambahkan konten multimedia seprti gambar dan lain sebagainya belum bisa (atau mungkin saya belum tahu). hehehe....

Makanya, untuk menambah referensi anda dalam membuat soal tes atau ujian online silakan saya rekomendasikan 7 aplikasi gratis untuk membuat soal tes atau ujian online terbaik. Dalam artikel tersebut, selain google drive saya merekomendasikan 6 aplikasi gratisan lainnya yang saya anggap lebih powerful. Salah satunya adalah bisa menambahkan konten mulitimedia dalam soal yang dibuat, sehingga hasilnya lebih interaktif.

Sekarang saya akan fokus pada bahasa cara mudah membuat soal tes atau ujian online dengan google drive. Hal pertama yang wajib anda penuhi adalah, anda harus memiliki akun google yaitu dengan cara membuat email dengan google mail atau gmail.com. Kalau belum punya akun google silakan baca panduan membuat email dengan gmail.

Nah sekarang saya anggap anda sudah memiliki akun google dan sudah login. Selanjutnya inilah cara membuat soal tes online dengan google drive.


Cara membuat soal online dengan google drive1. Bula link https://drive.google.com/drive/my-drive


2. Klik Tombol Baru, klik Lainnya dan Klik Google Formulir

Anda akan mendapatkan halaman untuk membuat soal online yang terdiri dari 3 bagian:
1. Setelan



src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYwSFkIqIc6odP_GX_3JuO7yA84Xdi7N6M-w6vz9LwJVDSS39BzdjhrjJFZyP9rWVztwsh8_2laFJ226Ppdpm-dJIjSU-tbZo9g4d0yS1RQnrxh0x-DLWO58oJ30pBaoxEp93xgkR0h0nA/s320/soal+online2.png" width="320"> 


Silakan setel sesuai dengan selera.
2. Formulir untuk membuat soal


Di sinilah soal akan dibuat. Ada beberapa yang perlu diperhatikan :
- Judul Formulir
- Soal
- Jawaban
Untuk nemabah butir soal, silakan klik Tambah Item
Kerjakan sampai semua soal sudah di ketik baru lanjut ke bagian berikutnya

3. Konfirmasi

Pada bagian ini anda bisa melakukan sedikit pengaturan tentang hasil akhir dari soal yang anda buat 



Bagikan soal online kepada murid
Nah inilah langkah terakhir agar soal yang anda buat bisa dikerjakan oleh para siswa. Ada dua opsi yang bisa digunakan yaitu dengan membagi link soal secara langsung pada googl plus, facebook, dan twitter atau meminta siswa langsung mengetikkan link pada addres bar browser (tapi tidak efektif karena link sangat panjagn dan sangat sulit diingat). Opsi kedua adalah dengan cara menyematkan soal pada web atau blog (jika anda sudah memiliki web atau blog).

Nah demikian cara membuat soal tes atau ujian online dengan menggunakan google drive. Semoga artikel ini bisa sedikti membantu para guru dalam mengembangkan keterampilan IT nya untuk memajukan pendidikan di sekolah masing-masing.

Sabtu, 30 Januari 2016

Cara Membetulkan Mesin Cuci Merk "SANYO" Yang Air nya Tersumbat

Mungkin anda semua bingung apa penyebab air di dalam mesin cuci tersumbat atau tidak bisa keluar ketika anda ingin membuangnya. Atau malah justru sebaliknya, mengapa air keluar terus sedangkan knop pemutarnya jelas-jelas berada di posisi off. 
Penyebab dan solusi nya akan saja jelaskan dibawah ini. Oh iya sebelumnya, artikel ini ditujukan untuk jenis mesin cuci model Twin Tube. Karena saya menggunakan mesin cuci model ini, dan saya belum pernah mempraktekanya untuk model mesin cuci yang lainnya.
ini model mesin cuci twin tube
Mesin Cuci Twin Tube adalah mesin cuci yang paling banyak dipakai, keunggulan dari mesin cuci ini adalah dari segi harga yang terjangkau dan cara pemakaiannya yang mudah sehingga siapa saja bisa menggunakannya, tinggal mengisi air sesuai kebutuhan pada tabung pencuci nya kemudian masukan pakaian, sabun dan putar timer nya sesuai kebutuhan, setelah proses mencuci selesai bilas dan peras dengan cara memindahkan cucian ke bagian pengering, memang sedikit ribet karena masih harus membilas dan memindahkan cucian ketika hendak dikeringkan.
Baiklah, tidak usah panjang lebar, ini dia penyebab mengapa air di dalam mesin cuci tersumbat atau tidak bisa keluar ketika anda ingin membuangnya airnya.
Penyebab air di dalam tempat cucian tidak bisa keluar disebabkan beberapa faktor antara lain:
Pertama, Biasanya karena saringan kotoran yang ada di dalam mesin cuci sudah rusak atau belum pernah di buka sebelumnya. 
saringan kotoran yang menempel di dinding mesin cuci
Saringan kotoran ini biasanya berada di dinding dalam sebelah kanan tempat untuk menaruh pakaian yang akan di cuci. Fungsi saringan ini adalah untuk menyaring kotoran-kotoran saat proses mencuci berlangsung. Jadi secara otomatis kotoran-kotoran kasar yang ada di pakaian akan tersaring dengan sendirinya lewat bantuan air dan masuk ke perangkap saringan tersebut.
namun banyak orang yang tidak mengetahui bagaimana cara membersihkan saringan tersebut, alhasil selalu dibiarkan saja tanpa dikuras isi kotoranya. Jika seperti itu akan menyebabkan kotoran saringan menumpuk berbulan-bulan dan menyebabkan kemampetan.
Solusi: Buka katup yang ada di ujung-ujung saringan tersebut, tarik dengan keras katup yang ada di kedua ujung saringan kotoran. Kemudian bersihkan dengan air. Jangan lupa ambil kotoran-kotoran yang menyumbat.
Kedua: Biasanya karena roda pemutar yang ada di dalam mesin cuci tersendat koin.
lubang di samping gambar yang biru-biru tersebut yang biasanya tempat masuknya koin
Penyebab yang ke dua biasanya karena sisi-sisi yang ada di roda pemutar tersendat koin dan semacamnya.  Koin-koin tipis yang sering tertinggal di saku biasanya akan mudah jatuh dan masuk di samping celah-celah roda pemutar. Alhasil ketika koin benar-benar masuk, maka akan menyumbat gerakan putar mesin cuci dan sering pula memyebabkan mampetnya air menuju ke tempat pembuangan.
Solusi: buka tengah-tengah roda pemutar menggunakan obeng. Congkel dengan kuat-kuat menggunakan obeng. Jika berhasil terbuka ambil semua benda-benda penyumbat dan bersihkan.
Ketiga: Biasanya per penutup dan pembuka saluran buangan air yang ada di belakang mesin cuci sudah kendor atau tidak elastis lagi.
Tarik-tarik per mesin agar elastis lagi

Penyebab ketiga adalah biasanya per yang ada di belakang mesin cuci, yang terhubung dengan knop pemutar on atau off dalm pembuangan air sudah sedikit usang. Maka jika air cucian anda tidak bisa terbuang bisa periksa bagian tersebut.
Solusi: Buka penutup kerangka mesin pada bagian belakang mesin cuci menggunakan obeng, kemudian tarik-tarik per yang berguna sebagai pembuka dan penutup pembuangan air agar kembali elastis.
Bagaimana menurut kalian, cukup mudah bukan. Semoga artikel ini cukup membantu.
Sumber ini pengalam pribadi sendiri.

Jumat, 29 Januari 2016

Cara menghitung kebutuhan material dak lantai beton per m2

Mari kita uraikan cara menghitung kebutuhan material dak lantai beton per m2, struktur yang akan kita hitung ini menggunakan sistem konvensional yaitu menggunakan perancah bambu, bekisting triplek, pasang pembesian lalu cor ditempat. kebutuhan material akan berbeda jika menggunakan sistem half slab, beton ringan dan yang lainya. o.k langsung saja kita mulai membuat analisanya.
Analisa kebutuhan material untuk membuat 1m2 dak beton sistem konvensional 
Besi= diameter 10mm dipasang jarak 20 cm berarti jumlahnya dalam 1m:0,2 m= 5bh, dipasang 2 lapis 2 arah berarti total jumlahnya 2 x 5 x 2 = 20bh, masing-masing panjangnya 1m berarti total kebutuhan besinya adalah 20bhx1m = 20 m. panjang perbatang 12m, jadi perlunya 20/12= 1,6667 btg. 
  • Beton= Ketebalan dak 12 cm, dalam 1m2 membutuhkan beton 1mx1mx0,12m=0,12m3. 
  • Semen= Perbandingan campuran beton 1pc:2ps:3kr, jadi butuh semen 1/6×0,12=0,02m3. 1 zak semen isi 50 kg berisi 0,024m3, jadi dalam 1m2 dak beton butuh semen 0,02/0,024=0,8333zak. 
  • Pasir= 2/6 x 0,12 =0,04m3. 
  • Koral = 3/6×0,12 = 0,06 m3. 
  • Triplek 8mm= ukuran triplek 1,2m x 2,4m maka luasnya 2,88m2. jadi 1m2 dak beton butuh 0,34722 lembar. 
  • Bambu = dipasang setiap jarak 50cm, perlunya 2 batang. 
  • Kawat bendrat. 
  • Paku 
Jadi untuk membuat 1m2 dak beton konvensional dibutuhkan 
Kebutuhan dak beton 
  • Besi D10 = 1,6667 btg 
  • Beton = 0,12 m3 
  • Semen 50kg/zak = 0,8333 zak 
  • Pasir = 0,04 m3 
  • Koral = 0,06 m3 
  • Triplek 8mm = 0,34722 lembar 
  • Bambu = 2 batang 
  • Kawat Bendrat = 
  • Paku= 
Catatan: kebutuhan diatas adalah untuk plat lantai, struktur balok dihitung secara terpisah. 
Nah.. kita sudah tahu berapa yang diperlukan untuk membuat satu meter persegi dak beton, itu untuk 1m2, lalu bagaimana jika membuat dak dengan ukuran sekian meter x sekian meter, mudah saja, caranya yaitu dengan mengalikanya dengan jumlah m2 dak beton yang akan dibuat, contohnya ukuran 7 m x 8 m = 56m2. jadi perlu besi D10 = 1,6667 btg x 56m2 = 93,3352 btg, perlu semen 0,8333 zak x 56m2 = 46,7 zak, perlu pasir 0,04m3 x 56m2 = 2,24m3, perlu koral 0,06m2 x 56m2 = 3,36m3, perlu triplek 0,34722 lbr x56m2 = 19,44 lembar, perlu bambu 2btg x 56m2 = 112 btg. begitulah caranya, jika ada koreksi atau masukan kita terima dengan senang hati

sumber: http://www.ilmusipil.com/cara-menghitung-kebutuhan-material-dak-lantai-beton-per-m2 .

Selasa, 26 Januari 2016

Biografi Imam 4 Madzhab - Imam Maliki dan Istinbath "Penggalian" Hukum

Biografi dan istinbath hukum imam malik
Biografi dan Istinbath "Penggalian" Hukum  Imam Malik- Biografi dan Istinbath "Penggalian" Hukum  Imam Malik- Pada masa sekarang ini umat Islam dalam melakukan amaliah ibadah khususnya pada masalah furu sering terjadi perbedaan, baik itu sedikit ataupun banyak, baik tidak begitu kelihatan maupun yang jelas kelihatan, hal ini sangat berpengaruh dengan kehidupan masyarakat Islam khususnya orang awam yang belum begitu mengerti dengan permasalahan ini. Sehingga sering terjadi perselisihan antara mereka dan menganggap bahwa pendapat mereka paling benar.

Oleh karena itu perlu kiranya bagi kami untuk membahas hal itu akan tetapi kami batasi dari segi salah satu imam madzhab baik dari biografi, pemikiran, cara penetapan hukum dan lain-lain, sehingga terjadi perbedaan pendapat dengan ulama madzhab lainnya. 

Dari begitu banyaknya para imam fiqh yang menjadi pedoman bagi para Ulama Fiqh dalam metode penetapan hukum, disini kami membahas salah satu Ulama Fiqh yaitu imam malik yang dimana dalam metode penetapan hukum islam banyak diikuti oleh Ulama Fiqh baik pada masa Imam Malik masih hidup maupun Ulama Fiqh sekarang, dari metode penetapan hukum ataupun pendapatnya, hal ini dikarenakan beliau dikenal dengn ahlul hadis dan ulama fikih terkemuka pada jamannya dan kehati-hatian dalam memutuskan suatu persoalan hukum. 

Untuk itu, walaupun sering terjadi perbedaan dalam pendapat baik dulu maupun sekarang, hal itu jangan menjadi salah satu sebab perpecahan umat islam akan tetapi menjadi suatu khazanah keilmuan Islam, Rasul berkata “ perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Pada tulisan saya kali ini akan membahas mengenai Biografi dan Istinbath Hukum Imam Malik.
Baca: Biografi AL-MATURIDI

A. Biografi Imam Malik

Nama lengkap beliau adalah Malik Bin Anas bin Malikbin Abi ‘Amar al-Asybahi al-‘Arabiy al-Yamniyyah. Ibunya bernama ‘Aisyah binti Syarik al-Azdiyyah dari Kabilah al-Yamaniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H / 789 M. (712 M) di Kota Madinah dan meninggal tahun 179 H/ 789 M. Dalam usia 87 tahun. Kakeknya bernama Malik, yang datang ke Madinah setelah Rasulullah saw Wafat. Sedang kakeknya termasuk golongan “Tabi’in”, yang banyak meriwayatkan al-Hadits dari Umar bin Khatab, ‘Utsman Bin ‘Affan dan Thalhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok Ulama’ terkemuka dalam bidang ilmu Hadits dan Fiqh.[1] Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang Tabi’in muda. Di antara gurunya juga adalah Nafi’, tabi’in tua dan budak dari Abdullah bin Umar.[2]

Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu dalam bidang material, tetapi sangat taat dalam pelaksanaan ajaran Islam dan benar-benar cinta terhadap ilmu agama Islam, khususnya bidang al-Hadits, sehingga Imam Malik sangat menguasainya dan periwayatan al-Hadist banyak diperoleh dari Nafi’ Maula Ibnu Umar yang dikenal dengan sebutan Abu Suhail (salah satu guru Imam al-Zuhri). 

Pada masa itu, kota Madinah merupakan pusat ilmu pengetahuan agama, kerana banyak para Tabi’in yang menerima ilmu tersebut dari para sahabat Nabi, sehingga banyak sekali para ulama’ yang berasal dari luar daerah berdatangan kesana untuk bertukar pikiran dengan para ulama’ Madinah, di samping menuntut ilmu.

Pola Pikir dan Metode Istinbath Imam Malik 

Imam Malik adalah seorang Imam Mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat sebagai ulama kenamaan dalam bidang Ilmu al-Hadits dan fiqh. 

Karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya. Maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah kitab Muwatha’ yang menjadi rujukan pertama para ahli fiqh dan al-Hadist, bahkan tidak sedikit dari golongan muhadditsin yang mempelajarinya, sebab susunannya telah diatur sistematis menurut sistim fiqh, bahkan Imam Syafi’iy menanggapinya dengan menyatakan bahwa tidak ada satupun kitab setelah kitab Allah dimuka bumi ini yang yang lebih sah dari pada kitab Imam Malik. 

Namun demikian, beliau sering mengalami berbagai macam kekejaman dan keganasan yang sangat berat dari penguasa, lantaran sikapnya yang tidak mau mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyyah di Baghdad, akibatnya beliau mendapat siksaan berat dan dihukum penjara. 

Imam Malik termasuk salah satu ulama’ yang sangat teguh dalam membela kebenaran. Bahkan beliau sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan kebenarannya, misalnya pada suatu ketika Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk tidak mengatakan sepotong Hadist tertentu, tetapi tidak dihiraukannya, lalu beliau membacakan al-Quran surat al-Baqarah ayat 159. Yang artinya: 

“sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk”. 

Sedang dalam masalah hukum dan fatwa, beliau sangat berhati-hati dalam membuat keputusan yang akan diambilnya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa “Aku tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu Hadist, selama 70 orang Ulama’ belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran yang akan fatwanya. 
Baca juga: Pengertian serta Kedudukan Qoul dan Manhaj dalam Aswaja

Metode Istinbath Hukum Imam Malik

Dengan melihat sikap kehati-hatian dan ketelitian Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam, selalu berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut: 

1. Al-Qur’an.

Sebagaimana Imam-imam lainnya, Imam Malik menempatkan Al-Quran sebagai sumber hokum paling utama dan memanfaatkannya tanpa memberikan prasyarat apapun dalam penerapanya. 

2. Al-Sunnah.

Dalam hal ini, Imam Malik mengikuti pola yang dilakukanya dalam berpegang teguh kepada al-Qur’an. Artinya: Jika dalil syara’ itu menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil.[3]

3. Ijma’ Ahl Madinah

Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung para sahabat dan Madinah sendiri menjadi tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan semua masyarakat Madinah pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Nabi SAW sendiri. Oleh karenanya Imam Malik menganggap praktek umum masyarakat Madinah sebagai bentuk Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata. 

4. Fatwa sahabat

Ketentuan hukum yang telah diambil oleh sahabat besar berdasarkan pada Naql. 

5. Qiyas

Imam Malik pernah menerapkan penalaran deduktifnya sendiri menegenai persoalan-persoalan yang tidak tercakup oleh sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ia sangat berhati-hati dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti itu. 

6. Istislah (Mashlahah Mursalah)

Istislah adalah menegkalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini.[4]
Yang dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.[5]

7. Al-Istihsan

Menurut Imam Malik adalah menentukan hokum dengan mengambil mashlahah sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan Istidlalul Mursah dari pada Qiyas, sebab mengunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, tetapi mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah secara keseluruhan. 

8. Sadd al-Zara’i

Menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya sebagai salah satu dasar pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram. 

9. Syar’u man Qablana

Prinsip yang dipakai oleh Imam Malik dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip ini dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik. 

10. Istishab

Tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada dimasa lampau, maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, maka hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.

Karya dan Pengikut Madzhab Maliki

Imam Malik memiliki beberapa karya yang ditulis semasa waktu beliau hidup dan ada pengikut yang setia kepadanya sebagaimana berikut:

1. Karya Imam Malik

Penyabaran suatu pemikiran dari seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya karya yang telah dihasilkan dengan dukugan para murid dan pendukung yang siap menyebarkan dan mengembangkannya. Sedang diantara karya Imam Malik terbesar adalah: 
  1. Kitab “Al-Mudawanah al-kubra”.
  2. Kitab “Al-Muwaththo” yang ditulis tahun 144 H. Atas anjuran Khalifah Ja’far al-Manshur.

Dari hasil penelitian jumlah atsar Rasulullah, sahabat dan tabi’in yang ada didalamnya adalah 1.720 buah. Dan didalam pembahasannya, ditemukan adanya dua aspek pembahasan, yaitu aspek al-Hadist. Dan aspek al-Fiqh. 

1) Aspek Al-Hadist

Dalam aspek ini, lebih disebabkan karena al-Muwatho’ banyak sekali yang mengandung al-Hadist, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in. Semuanya kebanyakan didapat dari sejumlah orang yang jumlahnya ,encapai 95 orang yang berasal dari Madinah kecuali empat orang, dan jumlah al-Hadist yang diterimanya tidak banyak, bahkan ada yang hanya satu atau dua buah saja, yaitu: Abu al-Zubair dari Makkah, Humaid al-Ta’wil dari Bashrah, Ayyub al-Sahtiyaany dari Bashrah, Ibrahim bin Abi Ablah dari Syam. Atho’ bin Abdullah dari Khurasan dan Abdul Karim dari Jazirah Arab. 

Adapun orang-orang yang meriwayatkan al-Hadist kepada Imam Malik tersebut, ada yang berjumlah besar, seperti ibnu shihab al-Zuhry, Nafi’ dan Yahya ibn Sa’ad. Sedang mereka itu kebanyakan para sahabat yang sudah lama berdomisili di Madinah. 

Sedangkan sanad yang ada didalam kitab Muwatho’ itu, ada yang lengkap yang Mursal, Muttashil dan yang Muqathi’, bahkan ada yang disebut dengan istilah “Bataghat” [6]yaitu sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerimanya. 

Dalam pengumpulannya, Imam Malik melakukan penyeleksian yang sangat ketat dan teliti, sehingga memakan waktu yang relatif lama dalam mewujudkan sebuah karya besar, bahkan ada yang menyatakan telah mengumpulkan sebanyak 4.000 buah al-Hadist, yang ketika beliau wafat jumlahnya tinggal 1.000 saja, sebab setiap tahunnya hadist-hadist tersebut diusahakan agar lebih sesuaiuntuk kaum muslimin dan man yang lebih mendekati kebenaran. Dalam keadaan seperti itulah, maka kedudukan Kitab Muwatho’ dikalangan Muhadditsin setelah dilakukan penelitian, memiliki kedudukan bahwa kedudukan kitab-kitab al-Hadist yang disusun oleh Imam Bukhari-Muslim. 

2) Aspek Fiqh

Adapun yang dimaksutkan dengan istilah aspek “Fiqh” adalah karena kitab al-Muwatha’ ini disusun berdasarkan sistematika bab-bab pembahasan kitab-kitab fiqh, yaitu bab Thaharah, Shalat, Zakat, Shiam, Nikah dan seterusnya dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa fasal, seperti dalam bab Shalat ditemukan adanya fasal tentang shalat jama’ah, shalat safar dan seterusnya, sehingga hadist-hadist yang ada dalam kitab al-Muwatha’ ini serupa dengan kitab-kitab fiqh. 

Dengan begitu, kitab-kitab karya Ulama’ bermadzhab Maliki itu adalah sebagai berikut: 

  1. Al-Muwatha’ al-Sughra, Hadist koleksi Imam Malik, karya Imam Malik.
  2. Al-Muwatha’ al-Kubra, Kumpulan Risalah Imam Malik oleh As’adbin al-Furat al-Naisaburi.
  3. Al- Mudawwanah, kumpulan hasil diskusi As’ad dengan ibn al-Qasim, oleh As’ad Bin Firat Naisabury.
  4. Al-Asadiyah, hasil revisi Shanuun dari kitab al-Mudawwanah karya As’ad, oleh Shanuun menurut Madzhab Imam Malik.

2. Murid Imam Malik

Kebanyakan imam-imam yang termasyhur pada zaman Imam Malik adalah murid beliau dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri, Di antara murid-muridnya adalah: 
  • Abu Abdurrahman bin Qasim ( 745-813 M ). Beliau lahir di Mesir namun ia pindah ke Madinah dan menimba ilmu dengan Imam Malik selama lebih 20 tahun, Imam Qasim menulis sebuah buku yang mendalam tentang fiqh Madzhab yang berjudul Al-Mudawwanah, yang bahkan melampaui Al-Muwatta’ karya Imam Malik sendiri.
  • Abu Abdullah bin Wahab ( 742-819 M ). Ibn Wahab juga dari Mesir ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam malik, Ibn Wahab mempunyai keahlian mendiskusikan hokum hingga mencapai kemampuan tertentuy yang gurunya sendiri kemudian memberikan julukan Al-Mufti, yang berarti pengurai hukum Islam.[7]
  • Asyhab bin Abul Aziz
  • Asad Bin Al-Furat
  • Abdul Malik Bin Al-Masjisun
  • Abdullah Bin Abdul Hakim 

3. Pengikut Imam Malik

Saat ini pengikut-pengikut Madzhab Maliki banyak tersebar di daerah Mesir, Sudan, Afrika Utara ( Tunisia, Aljazair dan Maroko ) Afrika Barat ( Mali, Nigeria, Chad,) dan Negara-negara Arab ( Kuwait, Qatar, Bahrain ).

Perkembangan Madzhab Maliki

Pada awalnya, madzhab Imam Malik timbul dan berkembang di kota Madianah sebagai tempat kelahiran yang sekaligus tempat domisi Imam Malik, kemudian berkembang di negara Hijaz dan Mesir, sekalipun di Mesir sempat mengalami kesurutan akibat berkembangnya madzhab Syafi’i. Sekalipun demikian pada masa pemerintahan dipegang oleh al-Ayyubi, sebagai pengikut madzhab Maliki, mengalami kemajuan kembali. 

Selanjutnya, dimasa pemerintahan dipegang Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzhab Maliki, yang mendapatkan kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara, sehingga memberi dampak madzhab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat pesat. Dari realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor kedudukan dan kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran madzhab Hanafi di daerah Timur dan aliran Madzhab Malik di daerah Andalusia. 

Adapun para sahabat dan murid Imam Malik yang sangat berjasa dalam mengembangkan madzhabnya adalah: 

1. Di Mesir, antara lain: 

  1. Abu Hasan Ali bin Ziayad al-Thusiy (w.183 H) sebagai pakar hukum Islam di Afrika.
  2. Abu Abdillah Ziyah bin Abdurrahman al-Quthubiy (w. 193 H), pembuka Madzhab Maliki di Andalusia.
  3. Isa bin Dinar al-Qurthubiy al-Andalusiy (w. 212 H) pakar hokum Islam di Andalusiy.
  4. Asad bin al-Furat bin Sinan al-Tunisy (145-213 H).
  5. Yahya bin yahya bin Kathir al-Laithiy (w. 234 H), penyeber Madzhab Maliki di Andalusi.
  6. Abul Malik bin Hubaib bin Sulaiman al-Sulami (w. 238 H).
  7. Sahnun Abdus Salam bin Sa’id al-Tanukhi, (w. 240 H), penyusun kitab pegangan para ulama’ Madzhab Maliki.

2. Di Hijaz dan Irak, diantaranya adalah: 

  1. Abu Marwan Abadul Malik bin Abiu Salamah al-Majishun (w.212 H).
  2. Ahamad bin Mu’adl-dlal bin Ghailan al-‘Abdiy.
  3. Abu Ishak Isma’il bin Ishak (w.282 H).

Sedang para pengikut diadab ke-lima dan ke-enam hijriyyah diantaranya adalah Abdul Wahid al-baji, Abdul Hasan, Al-Lakhamiy, Ibnu Rusyd al-Kabir, Ibnu-Rusyd al-Hafidh dan Ibnu al-‘Araiy, kemudian disusul dengan adanya Abu Qasim al-Jizziy (w 741 H) pengarang kitab “ al-Qawanin al-Fiqhiyyah Fi Talkhishi Madzhabi al-Malikiy” dan Sayyid Khalil (w 11 767 H) dan al-Adawiy (1189 H) dan masih banyak yang lain, diantaranya adalah ‘Utsman bin al-Hakam al-Juzami, Abdurrahman Ibn Khalid Ibn Yazid Ibn Yahya, Abdurrahman ibn al-Qasim, Asyhab ibn Abdul’Aziz, Ibn Abdul Hakam, Haris ibn Miskin dan orang-orang yang semasa dengan mereka. 

Oleh sebab itulah, maka dalam perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan diatas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia, yang pada umumnya gaya hidup mereka tidak semaju gaya hidup orang-orang di Irak , sehingga gaya hidup mereka jika dilihat dari sisi ini akan condong pada gaya hidup penduduk Hijaz,[8] sekalipun demikian, madzhab Maliki ini sampai sekarang masih saja tetap menjadi madzhab kaum muslimin hampir di seluruh Negara, bahkan Madzhab Maliki sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Lybia dan Mesir. Begitu juga di Irak Palestina, Hijaz dan lain-lain disekitar Jazirah Arabia, sekalipun pengikutnya tidak seberapa banyak, diantaranya secara keseluruhan kira-kira mendekati jumlah empat sampai lima juta pengikut.

Penutup

Imam Mailiki merupakan bagian dari empat madzhab fiqh, Beliau termasuk kelompok ulama ahli Ra’yu yang mahir dalam bidang fiqh, dalam Ilmu Fiqh beliau belajar kepada ulama ahli fiqh terkenal yaitu ‘Rabi’ah’, serta beliau juga belajar bidang Ilmu fiqh kepada Abdurrahman Bin Hurmuz selama 7 tahun, sehingga semua metode pembentukan hokum bagi madzhabnya, banyak dipengaruhi oleh pola fikir Abdurrahman Bin Hurmuzt tersebut. 

Metode Istidlal Imam malik dalam menetapkan hukum Islam mengunakan sikap kehati-hatian dan ketelitian dan Imam malik selalu berpegang teguh pada hal-hal berikut: 

  1. Al-Quran
  2. Al-Sunnah
  3. Ijma’ Ahl Madinah
  4. Fatwa sahabat
  5. Qiyas
  6. Al Mashlahah al Mursalah
  7. Al-Istihsan
  8. Sadd al-Zara’i
  9. Syar’u man Qablana
  10. Istishhab

Dalam perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan di atas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia dan hingga sekarang masih banyak yang menganut madzhab beliau. 

DAFTAR PUSTAKA

  • Bilal Philips, Abu Ameenah, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas madzhab Doktrin dan Kontribusi. Bandung: Nusamedia, 2005.
  • Ma’shum Zein, Muhammad, Arus Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para fuqoha’ . Jombang: Darul Hikmah, 2008.
  • Sopyan, Yayan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramatha Publishing, 2010.
  • Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
  • Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madzhab: Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali. Jakarta: Amzah,2013.
  • http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/imam-malik.html
__________________________________________________________________________________
  1. Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para fuqoha’ ( Jombang: Darul Hikmah, 2008), hal: 141
  2. Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramatha Publishing, 2010), Hal: 121
  3. Ibid, hal: 145
  4. Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Hal: 54.
  5. http://luckysetiania.blogspot.com/2012/01/imam-malik.html, Diakses tgl 8/3/15 jam 12.28.
  6. Ibid, hal 153
  7. Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas madzhab Doktrin dan Kontribusi, (Bandung: Nusamedia, 2005), Hlm: 100.
  8. Ibid, Hal: 157

Biografi 4 Imam Madzhab - Imam Hanafi, Perkembangan, Pola Pemikiran dan Metode Istinbath Imam Hanafi

Biografi Imam Hanafi, Perkembangan, Pola Pemikiran dan Metode Istinbath Imam Hanafi - Mazhab Abu Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat serangkai dalam mazhab fiqh, Imam Abu Hanifahmemang lebih dikenal sebagai faqih (ahli hukum) dari pada muhaddits (ahli hadits)[1]. Keahliannya dalam bidang fiqh telah diakui oleh banyak pakar, bahkan para imam sendiri seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i. Namun, bukan berarti ia kurang ahli dibidang hadits karena maha gurunya seperti Atha’, Nifi’, Ibnu Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar dan yang lainnya telah pula mengajarkan hadits kepadanya selain fiqh.[2]

Ada beberapa macam pendapat dari orang-orang Islam tentang kedudukan mazhab ini. Sebagian dari mereka berpendapat dan menganggap bahwa mazhab Abu Hanifah ialah satu mazhab yang baru serta lain dari mazhab-mazhab lain.

Biografi Imam Hanafi

Mazhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama pendirinya, yaitu Abu Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufy al-Taimy, yang masih ada hubungan keluarga dengan ‘Ali bin Abi Thalib, bahkan Ali pernah berdoa untuk Tsabit supaya Allah memberkahi keturunannya, sehingga tidak heran jika dikemudian hari dari keturunannya muncul Ulama’ besar seperti Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H/ 699M dan wafat di Baghdad tahun 150 H / 767 M. Beliau ini berasal dari keturunan Persia, yang menjalani hidup didua masa kekhalifahan yang sosial politiknya berbeda, yaitu masa akhir kekhalifahan Bani Umayyah dan awal masa kekhalifahan abbasiyyah.[3]

Beliau dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah” , sebab dalam kebiasaan bangsa Arab, nama putra (yaitu Hanifah) dijadikan sebagai sebuah nama panggilan bagi ayahnya dengan menggunakan kata “Bapak (Abu/Ayah)”, sehingga lebih dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah”.

Dalam kaitannya dengan sebutan tersebut, Yusuf Musa berpendapat bahwa sebutan tersebut lebih disebabkan adanya kehidupan kesehariannya yang selalu berteman dengan tinta (dawat) guna menulis dan mencatat semua ilmu pengetahuan yang didapat dari teman-temannya dan kata “Hanifah” dalam bahasa berarti “Tinta”. Karena inilah, beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dalam segala hal, baik belajarnya maupun peribadatannya, sebab kata “hanif” dalam bahasa Arab juga berarti “condong” kepada hal-hal yang benar, sehingga pada masa kedua khalifah, beliau tetap saja tidak menjabat sebagai qadli, karena tidak senang pada kemewahan setelah jabatan itu dipegangnya.[4]

Dalam studinya, pada awalnya Abu Hanifah senang sekali belajar bidang Qira’ah dan tajwid kepada Idris ‘Asham, al-Hadits, Nahwu Sharaf, sastra, sya’ir dan ilmu yang sedang berkembang pada saat itu, diantaranya adalah ilmu-kalam (theologi). Karena ketajamannya dalam memecahkan semua persoalan, beliau sanggup membuat Argumentasi yang dapat menyerang kelompok Khawarij dan doktrinnya yang sangat ekstrim, sehingga beliau menjadi salah satu tokoh theologi Islam.

Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh di Irak pada Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud ( (w. 63 H / 682 M) dan beliau berguru selama 18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy al-Tabi’iy (al-Qadli Syuriah), kemudian kepemimpinan Madrasah diserahkan kepada Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary dan disinilah Imam Abu Hanifah banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Atha’ bin Rabah dan Nafi’ Maula bin Umar. Dari Guru Hammad inilah Imaam Abu Hanifah banyak belajar Fiqh dan al-Hadits.[5]

Untuk mencari tambahan dari apa yang telah didapat di Kuffah, Abu Hanifah beberapa beberapa kali pergi ke Hijaz dan Makkah meskipun tidak begitu lama untuk mendalami Fiqh dan al-Hadits dan tempat ini pulalah beliau dapatbertemudan berdiskusi dalam berbagai bidang ilmu Fiqh dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra, sehingga tidak mengherankan jika sepuluh tahun sepeninggal guru besarnya (Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary tahun 130 H), Majlis Madrasah Kuffah bersepakat untuk mengangkat beliau Abu Hanifah sebagai Kepala Madrasah dan selama itu beliau mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa-fatwanya dalam bidang fiqh. Kemudian fatwa-fatwa itulah yang menjadi dasar pemikiraan Hanafi sampai sekarang. Keberhasilan beliau ini pada hakikatnya terdorong oleh nasihat para guru setianya, diantaranya adalah Imam Amir ibn Syahrilal-Sya’biy dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’Ary. 

Di samping itu semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai sosok ‘ulama’ yang sangat dalam keilmuan keagamaannya, ahli zuhud, sangat tawadlu’ dan teguh dalam memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam, bahkan beliau tidak tertarik sama sekali pada jabatan-jabatan pemerintahan yang pernah ditawarkan kepadanya.

Ilmu yang dimiliki oleh Abu Hanifah demikian luas terutama temuan-temuannya di bidang hukum dan memecahkan masalah-masalahnya sejumlah 60.000 masalah, hingga ia digelar dengan Imam al-A’zdam dan kekuasaan ilmunya itu diakui oleh Imam Syafi’i, beliau berkata: “manusia dalam bidang hukum adalah orang-orang yang berpegang kepada Abu Hanifah”.[6] Tampaknya ilmu Abu Hanifah bukan hanya bidang hukum tetapi juga meliputi bidang-bidang lainnya termasuk tasawuf.[7]

Kehidupan Abu Hanifah di masa Dinasti Umayyah selama 52 tahun, dan di masa Dinasti Abasiyyah selama 18 tahun. Dengan demikian beliau mengetahui hiruk pikuk pergantian kekuasaan Islam antara kedua Dinasti tersebut. Ketika Umar bin abdul aziz berkuasa (99-101 H), Abu Hanifah sudah menjelang dewasa.[8]

Untuk menjamin ekonominya, Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang sutera. Dalam dagang ia dikenal jujur dan lugas. Kemakmuran hidupnya diperoleh dari dagang ini.[9] Bakat berdagangnya didapatkan dari ayahnya yang dulu juga seorang pedagang kain sutra asli Persia, yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khulafaur rasyidin.[10]

Abu Hanifah dibesarkan di Kufah. Setidaknya ada empat orang sahabat Nabi yang masih hidup ketika Abu Hanifah lahir. Anas bin malik di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi di Madinah, Abu al-Thufail, Amir bin Wailah di Mekah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau sempat berjumpa dengan Anas bin Malik di Mekah. Kalau ini benar maka Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Tetapi karena sebagian besar ilmunya diperoleh dari generasi tabiit-tabi’in, maka tidak tepat dia disebut tabi’in. Seperti halnya ulama lain, Abu Hanifah menguasai ilmu kalam (dikenal dengan fiqh al-Kabir) dan ilmu fiqh. Dari segi lokasi di mana ia dibesarkan, dapat diperkirakan bahwa pemikiran keagamaan yang dikembangkan oleh Abu Hanifah adalah pemikiran Rasional.[11]

Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767 M pada usia 70 tahun dan dimakamkan di pakuburan Khizra, kemudian pada tahun 450 H /1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama “Al-Jami’ Abu Hanifah”.

Dari keberhasilan Abu Hanifah dalam mendidik ratusan murid yang memeliki wawasan luas dalam bidang fiqh, maka wajar jika sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tersebar luas melalui para muridnya yaang memang cukup banyak. Diantaranya adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarrak, Waki’ bin Jarah bin Hasan al-Syaibaniy dan lain-lain, sehingga tidak heran jika murid-muridnya menjabat sebagai Hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyyah, Saljuk, Utsmani dan Mongol.[12]


Pola Pemikiran dan Metode Istinbath Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah termasuk ulama’ yang tangguh dalam memegangi prinsip pemikirannya. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di pemerintahan, tetap saja tidak mau menerimanya, baik pada masa kekholifahan Bani Umayyah di Kuffah yang dijalaninya selama 52 tahun maupun kekholifahan Bani Abasiyyah di bagdad selama 18 tahun, bahkan yang menawarinya adalah penguasa kerajaan sendiri, yaitu Yazid bin Umar dari kerajaan Bani Umayyah dan Abu ja’far al-Manshur dari kerajaan Bani Abbasiyyah sebagai seorang Hakim. Akibatnya beliau dipenjarakan sampai meninggal dunia.

Dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52 tahun ( yang mana pemerintahannya dipegang oleh Bani Umayyah yang berpusat di Kufah) pernah menyaksikan tragedi-tragedi besar, sehingga dalam satu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya dalam menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama’ besar dengan julukan “Al-Imam al-A’dlam”. Akan tetapi disisi lain beliau merasakan kota Kuffah sebagai kota yang penuh teror yang di dalamnya diwarnai dengan pergolakan politik.[13]

Sedang untuk mengetahui methode Istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat dari pengakuan yang dibuatnya sendiri, yaitu:

  1. “Sesungguhnya saya mengambil kitab al-Qur’an dalam menetapkan Hukum, jika tidak ditemukan, maka saya mengambilnya dari al-Hadits yang shahih dan yang tersiar secara mashur di kalangan orang-orang terpercaya. Jika tidak ditemukan dari keduanya, maka saya mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki, lalu saya tidak keluar dari pandangan mereka. Jika masalah tersebut sampai pada Ibrahim al-Sya’by, Hasan ibn Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
  2. Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar hukum dalam al-Qur’an, kalau tidak ada saya mencarinya dari dalam al-Sunnah Nabi, kalau tidak ada, saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya memilih mana yang saya anggap paling kuat, tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka saya pun melakukan ijtihad.”
  3. Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan:” inilah pendapatku dab jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.”
  4. Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan tidak diragukan lagi?.” Lalu beliau menjawab:” Demi Allah, boleh jadi itu adalah suatu fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya.”[14]

Berdasarkan kenyataan dari pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum syar’i (beristidlal), tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’i dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang keshahihannya yang masih diragukan, tetapi mempergunakan al-ra’yu, sebab beliau sangat selektif dalam menerima al-Sunnah, sehingga beliau tetap memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta ‘urf mereka.

Dengan demikian, dalam beristinbathnya, imam Abu Hanafi tetap mempergunakan al-Qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa dengan menggunakan al-Qiyas, maka berpegang pada istihsan selama dapat dilakukan. Jika tidak bisa baru beliau berpegang pada adat dan ‘Urf. 

Dalam mengistinbath hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf. Menurut Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad Abu Hanifah. Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan, India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.[15]


Karya-Karya dan Pengikut Imam Hanafi

Dalam menelusuri sejauh mana penyebaran dana perkembangan suatu mazhab, diperlukanlah adanya pengungkapan terhadap sejauh mana karya-karya yang telah dihasilkannya itu beredar dan dikembangkan oleh generasi penerusnya. Maka dari itu, karya-karya yang telah dihasilkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai dasar pokok pengembangan mazhabnya dapat dilihat dari tiga karya besarnya, sekalipun masih dalam bentuk sebuah majalah ringkas, tetapi sangat terkenal, yaitu sebagai berikut:[16]
  1. Kitab Fikh al-Akbar
  2. Kitab al-‘Alim wa al-Mu’allim
  3. Kitab al-Musnad fi Fiqh al-Akbar
Dalam menanggapi masalah ini, Ayeed Amir Ali menyatakan bahwa karya-karya Abu Hanifah, baik yang berkaitan dengan fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihadnya saat itu ( pada masa beliau masih hidup) belum dibukukan, tetapi baru setelah wafat, muri-murid dan pengikutnya membukukan, sehingga menjadi mazhab ahl al-Ra’yi ini menjadi hidup dan berkembang dan dalam perkembangan selanjutnya berdiri sebuah Madrasah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Madrasah Hanafi atau Madrasah Ahl al-Ra’yi, selain namanya yang terkenal menurut versi sejarah hukum Islam sebagai “Madrasah Kufah”.

Murid-Murid Abu Hanifah

Sistem Penyebaran dari suatu pemikiran seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya para murid dan pendukungnya, diantaranya adalah sebagai berikut:[17]

Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Auza’iy (113-182 H)

Dan beliau ini menjadi seorang “Qadlibal-Qudhat (ketua Hakim tinggi yang diberi kekuasaan untuk mengangkat para Hakim daerah) pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan menyusun kitab dengan judul: “al-Kharaj” yang membahas tentang “Hukum Pajak Tanah”.

Muhammad bin Hasan bin Farqad al-Syaibany (132-189 H)

Dan beliau inilah, salah satu murid Abu Hanifah yang banyak sekali menyusun dan mengembangkan hasil karya Abu hanifah, diantaranya yang terkenal adalah Al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu:[18]

  1. Kitab al-Mabsuth
  2. Kitab al-Ziyad
  3. Kitab al-Jami’ al-Shaghir
  4. Kitab al-Jami’ al-Kabir
  5. Kitab al-Siyarul Kabir
  6. Kitab al-Siyarul Shaghir[19]

Zufar bin Huzaili (110-189 H)

Beliau merupakan salah satu ulama Abu Hanifah yang mengikuti contoh gurunya, dan menolak menerima tawaran sebagai Qadli meskipun banyak sekali tawaran menarik disodorkan kepadanya. Zufar lebih memilih untuk mengajar, yang terus dilakukan hingga dia wafat pada usia 42 tahun di Basrah.[20]

Dengan Demikian, maka melalui karya-karya itulah Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh sangat luas dalam dunia Islam, khususnya mereka yang berhaluan sunny, sehingga pada masa pemerintahan dipegang oleh khalifah Bani Abbasiyyah, mazhab Abu Hanifah menjadi sebuah aliran mazhab yang paling banyak diikuti dan dianut oleh ummat Islam, bahkan pada kerajaan “Utsmani” menjadi salah satu aliran ,azhab resmi negara dan sampai sekarang tetap menjadi kelompok mayoritas di samping aliran mazhab syafi’i.[21]

Para Pengikut Mazhab Hanafi

Para pengikut mazhab Hanafi saat ini sebagian besar tersebar di daerah India, Afghanistan, Iraq, Syria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname dan juga sebagian di antaranya berada di daerah Mesir. Ketika para penguasa Kerajaan Ottonom menyusun Undang-Undang hukum Islam berdasarkan mazhab Hanafi pada abad ke 19 dan menjadikannya sebagai hukum resmi negara, siapapun ulama’ yang berkeinginan menjadi seorang hakim diwajibkan untuk mempelajarinya. Dengan demikian, mazhab ini tersebar luas di sepanjang wilayah pemerintahan kerajaan Ottoman di akhir abad ke -19.[22]

Perkembangan Mazhab Imam Hanafi

Mazhab Hanafi tercermin di Irak, negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab berkembang ke Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah berada), dan Turki Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan para qadli, bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas penduduk bumi putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.[23]

Dapat dikatakan bahwa perkembangan Mazhab Hanafi boleh dikatakan menduduki posisi yang paling tinggi dan luas dibandingkan dengan mazhab-mazhab lain. Hal ini disebabkan dengan adanya hal-hal sebagai berikut:
  1. Pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, ia menjadi alirang Mazhab yang secara umum menjadi pegangan masyarakat di Irak yang dapat mengalahkan Mazhab lain lantaran pengaruhnya dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan.
  2. Pada masa kekhalifahan Ustmaniyyah, Mazhab ini menjadi mazhab resmi pemerintahan, bahkan berubah menjadi satu-satunya sumber dari panitia negara dalam menyusun kitab “Majallah al-Akhkam al-‘Adaliyyah (Kompilasi Hukum Islam).[24]

Dari kedua kekhalifahan itulah, yang membuat Mazhab aliran Hanifah berkembang pesat di berbagai negara, khususnya negara-negara yang pada masa dahulu tunduk kepada keduanya, seperti:

  1. Mesir, Syria dan Lebanon
  2. Tunisia yang menjadi mazhab keamiran.
  3. Turki dan dibeberapa negara yang dahulunya tunduk kepada kekuasaan Turki
  4. Albania yang menjadi aliran mazhab yang umum dipakai oleh masyarakat.
  5. Balkan dan Tanzaniyyah yang menjadi panutan dalam bidang peribadatan.
  6. Pakistan, Afganistan, Turkinistan dan penduduk muslim yang berdomisili di India dan Tiongkok, begitu juga para penganutnya di negara-negara lain.

Dengan demikian, maka kenyataan seperti itu dapat disimpulkan bahwa kesemua penganut aliran Mazhab Hanafi itu lebih kurang ada sepertiga dari jumlah seluruh ummat Islam sedunia.[25]

Penutup
Mazhab Abu Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat serangkai dalam mazhab fiqh, beliau memang lebih dikenal sebagai faqih (ahli hukum) dari pada muhaddits (ahli hadits). Keahliannya dalam bidang fiqh telah diakui oleh banyak pakar, bahkan para imam sendiri seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i. Namun, bukan berarti ia kurang ahli dibidang hadits karena maha gurunya seperti Atha’, Nifi’, Ibnu Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar dan yang lainnya telah pula mengajarkan hadits kepadanya selain fiqh.

Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh di Irak pada Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud ( (w. 63 H / 682 M) dan beliau berguru selama 18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy al-Tabi’iy (al-Qadli Syuriah), kemudian kepemimpinan Madrasah diserahkan kepada Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary dan disinilah Imam Abu Hanifah banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Atha’ bin Rabah dan Nafi’ Maula bin Umar. Dari Guru Hammad inilah Imaam Abu Hanifah banyak belajar Fiqh dan al-Hadits.

Dalam mengistinbath hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf. Menurut Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad Abu Hanifah. Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan, India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.

Mazhab Hanafi tercermin di Irak, negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab berkembang ke Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah berada), dan Turki Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan para qadli, bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas penduduk bumi putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.


DAFTAR PUSTAKA
Ameenah, Abu, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab Doktrin dan Kontribusi, Penerjemah: M. Fauzi Arifin, Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2000

Ma’shum Zein, Muhammad, Arus Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis Istinbath Para Fuqoha’, Jombang: Darul Hikmah, 2008

Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002

Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta: Impremium, 2012

Sopyan, Yayan, Tarikh Tasry’, Depok: Gramata Publishing, 2010 

Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Teras, 2010

Zuhri, Muh, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta,: Raja Permai Grafindo Persada, 1997






[1] M. Alfatih Suryadilaga dkk, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010) hlm.188
[2] Ibid, 189
[3] Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis Istinbath Para Fuqoha’, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm.129.
[4] Ibid, Hlm. 129-130
[5] Ibid, Hlm. 131
[6] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Hlm. 30
[7] Ibid, Hlm.30
[8] Muh Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta,: Raja Permai Grafindo Persada, 1997), Hlm.94-95.
[9] Ibid, Hlm. 95
[10] Abu Ameenah, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh: Analisis Historis atas Mazhab Doktrin dan Kontribusi, Penerjemah: M. Fauzi Arifin, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2000), Hlm. 87
[11] Muh Zuhri, Op.cit, Hlm. 95
[12] Muhammad Ma’shum Zein, Op.Cit, Hlm.132
[13] Ibid, Hlm.133
[14] Ibid, Hlm.134
[15] Yayan Sopyan, Tarikh Tasry’, (Depok: Gramata Publishing, 2010), Hlm. 121.
[16] Muhammad Ma’shum Zein, Op.Cit, Hlm.137
[17] Ibid, Hlm.138
[18] Ibid,Hlm.138-139
[19] Keenam kitab tersebut telah dikumpulkan dalam satu kitab bernama al-Kafi oleh al-Hakim al-Syahid.
[20] Abu Ameenah, Op.Cit, Hlm. 91
[21] Muhammad Ma’shum Zein, Op.Cit, Hlm.139
[22] Abu Ameenah, Op.Cit, Hlm.92-93
[23] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Impremium, 2012), Hlm. 97.
[24] Muhammad Ma’shum Zein, Op.Cit, Hlm. 139
[25] Ibid, Hlm. 140